Hujan Cinta di Pagi
Hari
Karya: Muhammad
Hanif MA
Aku tak mengira
ini pagi yang keberapa
Sejak bunga
terbang mencari sarangnya kumbang
Dan cinta
keduanya kini bertautan aneh bergelantungan
Pada
dahan-dahan, ranting-ranting pepohonan
Lalu cinta
menjelma burung yang indah
Setiap pagi ia
bertengger dan bernyanyi,
terbang dan menari
Ai
Laf yu beibi
Udarapun
berhenti serasa malu sekali
Seperti bujangmu
ketika memergoki kita berciuman di
Kusen pintu
Aih, lidahmu
panas sekali
Aku tak mengira
ini pagi yang keberapa
Ketika semerbak
ludahmu membuatku terjaga
Pagi buta
Cinta muda
Bukan pertemuan
dan perpisahan
Masalahnya
adalah rindu yang melahirkan
Rindu bumi pada
langit
Rindu langit
pada bumi
Hujan cinta di
pagi hari
Menteng Kalasan,
Februari 2005
Analisis Puisi
Aku
tak mengira ini pagi yang keberapa, pada baris ini
penulis menggunakan gaya bahasa litoses. Hal tersebut dikarena kata Aku tak mengira ini pagi yang keberapa, menyatakan
sesuatu dengan memperkecil atau memperhalus keadaan. Jadi maksudnya penulis
tidak merendahkan dirinya dengan berkata Aku
tak mengira ini pagi yang keberapa, padahal sesungguhnya penulis
mmengetahuinya.
Sejak
bunga terbang mencari sarangnya kumbang,
pada baris ini penulis menggunakan gaya bahasa personifikasi. Penulis
mengibaratkan benda mati seolah-olah hidup dan berbuat atau bergerak. Benda
mati dalam baris ini yaitu bunga kemudian bunga tersebut terbang mencari
sarangnya kumbang. Seharusnya yang bergerak terbang itu ialah kumbang bukan
bunga, karna kumbang memiliki sayap.
Dan
cinta keduanya kini bertautan aneh bergelantungan,
pada baris ini penulis menggunakan gaya bahasa personifikasi.
Penulis mengibaratkan benda mati seolah-olah hidup dan berbuat atau bergerak.
Benda mati dalam baris ini yaitu cinta
kemudian cinta tersebut bertautan aneh bergelantungan.
Seharusnya yang bertautan aneh
bergelantungan ialah benda hidup lebih tertuju kepada binatang.
Pada
dahan-dahan, ranting-ranting pepohonan, pada baris
ini penulis menggunakan gaya bahasa paralelisme. Penulis mengulang kata pada
baris tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dari kata dahan-dahan dan ranting-ranting.
lalu
cinta menjelma burung yang indah, pada baris ini penulis
menggunakan gaya bahasa metafora. Penulis
membandingkan sesuatu tanpa menggunakan kata perbandingan seperti bagaikan, laksana, seperti, dan lain
sebagainya. Namun penulis membandingkan kata cinta itu burung yang indah.
Setiap
pagi ia bertengger dan bernyanyi terbang
dan menari, pada baris
ini penulis menggunakan gaya bahasa
Silepsis dan
Zeugma. Hal tersebut dikarenakan penulis mempergunakan dua konstruksi rapatan
dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata yang lain sebenarnya hanya
salah satunya mempunyai hubungan sebuah kata dengan dua kata yang lain
sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Kata penghubung
tersebut ditandai dengan kata dan.
Udara
pun berhenti serasa malu sekali, pada baris ini
penulis menggunakan gaya bahasa litoses.
Hal tersebut dikarena kata baris ini menyatakan sesuatu dengan memperkecil atau
memperhalus keadaan. Jadi maksudnya penulis
merendahkan dirinya dengan berkata udara pun berhenti serasa malu sekali, padahal
sesungguhnya udara tidak akan pernah berhenti penulis hanya memperhalus katanya
saja.
Seperti
bujangmu ketika memergoki kita berciuman di kusen pintu, pada
baris ini penulis menggunakan gaya bahasa perumpamaan. Hal tersebut karena
baris ini menggunakan kata seperti. Kata seperti digunakan untuk membandingkan
dua hal yang pada hakikatnya berkaitan dan yang sengaja dianggap sama.
Aih,
lidahmu panas sekali, pada baris ini penulis
menggunakan gaya bahasa hiperbola. Hal tersebut dikarenakan penulis menyatakan
sesuatu dengan berlebih-lebihan. Pernyataan tersebut dibuktikan pada kata
lidahmu panas sekali.
Aku
tak mengira ini pagi yang keberapa, pada baris ini
penulis menggunakan gaya bahasa litoses. Hal tersebut dikarena kata Aku tak mengira ini pagi yang keberapa , menyatakan
sesuatu dengan memperkecil atau memperhalus keadaan. Jadi maksudnya penulis
tidak merendahkan dirinya dengan berkata Aku
tak mengira ini pagi yang keberapa, padahal sesungguhnya penulis
mengetahuinya.
Ketika semerbak ludahmu membuatku terjaga, pada baris ini penulis menggunakan gaya bahasa
hiperbola. Hal tersebut dikarenakan penulis berlebih-lebihan menyatakan bahwa
semerbak ludah dapat membangunkan orang.
Pagi buta cinta muda, pada baris ini penuulis menggunakan gaya bahasa aliterasi
karena penulis mengulang bunyi vokal yang sama. Hal tersebut dapat dibuktikan
dari kata buta dan muda. Perulangan bunyi vokalnya yaitu /u/ dan /a/.
Rindu
bumi pada langit rindu langit pada bumi, pada
baris ini penulis
menggunakan gaya bahasa antitesis. Hal tersebut dikarenakan penulis
menghadirkan kelompok-kelompok kata yang berlainan maksudnya. Pernyataan tersebut
dapat dilihat dari kata rindu bumi pada langit kemudian diikuti kara rindu
langit pada bumi.