Nama :
Ria Adi Purnama
NPM :
116210195
Kelas : 6E
M.K :
Semantik
Soal
Mengapa dalam surah Al-Fatihah pada kalimat “Ihdinassirathal mustaqim”
Artinya adalah Tunjukilah kami jalan yang lurus.
Kenapa harus kata “Di jalan yang “lurus”? Bukan di jalan yang “benar”?
Jawab
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami
jalan yang lurus.”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, ”Jalan yang
lurus ini adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan khusus oleh Allah,
yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang shiddiq, para syuhada dan
orang-orang shalih. Bukan jalannya orang yang dimurkai, yang mereka mengetahui
kebenaran namun sengaja mencampakkannya seperti halnya kaum Yahudi dan
orang-orang semacam mereka. Dan jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh orang
yang sesat; yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan
kesesatan mereka, seperti halnya kaum Nasrani dan orang-orang semacam mereka.”
(Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 39).
“Ihdina
ash-Shirath al-Mustaqim.” Tunjukanlah kami ke jalan yang lurus. Sebuah bentuk
permohonan kepada Allah memperoleh petunjuk dan diantarkan ke jalan yang luas
lagi lurus.” Jika diartika dengan konotasi lebih luas, bisa berarti,
hidayahkanlah kami dengan hidayah menuju jalan yang lurus. kalimat “shiratal
mustaqim” adalah hukum, aturan, akhlak, etika, dan pelajaran-pelajaran yang
membawa segala sesuatu yang perlu untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan
akhirat itulah jalan yang lurus.
Dalam
aplikasi keseharian, betapa sulitnya menemukan jalan yang lurus. Orang yang
menemukan jalan yang lurus ini, dialah yang paling dicintai oleh Rasul saw.
Dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita memohon kepada Tuhan: “Bimbing dan
beri taufiklah kami ya Allah dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama kami.
Betulkanlah kepercayaan kami. Bimbing dan beri taufiklah kami dalam
melaksanakan kepercayaan kami. Jadikanlah kami mempunyai akhlak yang mulia,
agar berbahagia hidup kami di dunia dan akhirat.”Semakin sering seorang membaca
ayat ini dalam shalat dan kesehariannya, maka semakin besar peluang jalan yang
ditempuhnya adalah jalan yang lurus.
Makna “Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus”.
Menurut Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” (اهْدِنَا)
berarti “berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (xالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain “jalan yang
lurus” itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang menyatakan
bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut Ibnu Abbas
lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah kami ilham
tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah satu-satunya; serta
tiada sekutu bagi-Nya.”[38]
Kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas mempunyai tiga macam cara membaca
(qiraat). Pertama, mayoritas qari, membacanya
dengan dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum dalam mushaf
Utsmani.Kedua, sebagian lain membacanya dengan huruf siin,
sehingga menjadi (السِرَاط). Ketiga, dibaca dengan
huruf zay (ز), sehingga menjadi (الزِراَط). [39]Sedangkan
menurut bahasa, seperti dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) berarti jalan yang jelas dan tidak bengkok.[40]
Kataاهْدِنَا berasal dari akar kata
hidayah (هداية). Menurut al-Qasimi, hidayah berarti petunjuk –baik
yang berupa perkataan maupun perbuatan– kepada kebaikan. Hidayah tersebut
diberikan Allah kepada hamba-Nya secara berurutan. Hidayah pertama diberikan
Allah kepada manusia melalui kekuatan dasar yang dimiliki manusia, seperti
pancaindra dan kekuatan berpikir. Dengan kekuatan inilah, manusia bisa
memperoleh petunjuk untuk mengetahui kebaikan dan keburukan.
Hidayah kedua adalah melalui diutusnya para Nabi. Macam
hidayah ini terkadang disandarkan kepada Allah, para rasul-Nya, atau Alquran.
Hidayah tingkatan ketiga adalah hidayah yang diberikan oleh
Allah kepada para hamba-Nya yang karena perbuatan baik mereka. Hidayahkeempat adalah
hidayah yang telah ditetapkan oleh Allah di alam keabadian. Dalam pengertian
hidayah keempat inilah, maka Nabi Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman,
Abi Thalib, untuk masuk Islam. (Tafsir Dari Pandangan Ulama Imam Syafii Hal. 41)
Jadi, yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. Sedangkan
yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka”adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri anugerah kepada
mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga mereka mati
tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang suci, dan
para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga
dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang
yang Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat
beliau, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.[42]
Pada ayat ke
6 surat Al-Fatihah“Ihdinassirathal mustaqim” memiliki arti “Tujukkanlah Kami Jalan yang
Lurus” berdasarkan tafsir-tafsir yang telah dikaji oleh berbagai pendapat para
ulama di atas bahwasanya jalan yang lurus merupakan jalan orang-orang yang
selalu dirodhoi oleh Allah. Bukan jalan-jalan orang yang dimurkai Allah Swt. Shiraathal
mustaqiim, jalan yang lurus yang jelas tidak berliku-liku yang dijelaskan dalam
ayat tersebut, siapa saja tampa terkecuali akan melewati jalan Shiraathal
mustaqiim bagi yang bertaqwa.
Begitu
pentingnya surah Al-Fatihah dibaca dalam setiap rakaat shalat karena dengan
membaca surah tersebut maka umat manusia yang bertaqwa akan mendapatkan jalan
yang lurus. Jalan yang lurus memiliki makna jalan yang menuju kepada Allah sang pencipta, ketika
hidup di dunia. Oleh sebab itu mengapa surat al-fatihah mempunyai makna jalan
yang lurus bukan jalan yang benar. Jalan yang lurus merupakan jalan yang tidak berliku-liku
lurus tertuju pada ajaran yang telah terkandung dalam Al-quran dan Sunah nabi.
Sedangkan jalan yang benar merupakan jalan yang telah dianut oleh Rasulullah
dan para sahabatnya. Maka dari itu selain berpedoman kepada Al-Quran dan Hadist
kita juga harus mengikuti perangai yang dilakukan oleh para nabi sehingga kita
tidak tersesat kepada jalan yang dimurkai Allah.
Berdasarkan analisis semantik, jalan yang lurus dalam hal
ini merupakan jalan yang menuju satu arah yaitu sang khalik, tanpa belokan atau
lengkungan. Maksudnya adalah jalan yang diinginkan umat manusia untuk menuju
akhirat kelak. Jalan akhirat kelak yaitu untuk menju surga yang telah
dijanjikan Allah Swt.
Sumber
Muslim.
Tafsir Al-fatihah. 2012. http://www.muslimsays.com/2012/01/tafsir-al-fatihah-ihdinash-shirathal.html. posting:
Januari 2012.
Yusray. 2013.
Tafsir Surat Al-Fatihah. http://yusray09.blogspot.com/2013/05/www.fxmuchtar.blogspot.com.html. Posting:
Kamis 23 Mei 2013.
Al-Hafiz
Muslihin. 2013. Penafsiran Al-Fatihah ayat 6. http://mushlihin.com/2013/12/tafsir/penafsiran-al-fatihah-ayat-6.php.
posting : Desember 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar